Saturday, May 15, 2010

FORMULA 1 DARI MASA KE MASA (vol. 2)

John Michael Hawthorn adalah juara dunia Formula 1 1958 saat bergabung bersama tim Scuderia Ferrari.

Kemudian dia pindah ke tim Maserati di tahun berikutnya. Di tim saingan Ferrari itu Fangio pun menyumbangkan gelar juara dunia. Pada 1958 dominasi pembalap Italia mulai dibayangi para pembalap Inggris. Mike Hawthorn yang kala itu bergabung dengan tim Ferrari seakan menjadi pembuka kejayaan pembalap Inggris. Mike berhasil menggondol gelar juara dunia pada tahun itu setelah bersaing ketat dengan teman satu negaranya, Stirling Moss dari tim Inggris Vanwall.

Tim Cooper juga turut menambah keperkasaan pasukan balap negeri Inggris. Cooper adalah tim petama yang mendesain mobilnya dengan mesin pada bagian belakang. Rancangan seperti itu sebenarnya pernah dibuat oleh Dr. Ferdinand Porsche untuk tim Jerman Auto Union 20 tahun sebelumnya. Dan ternyata, konfigurasi mobil dengan mesin dibelakang, mampu mengalahkan mobil dengan konfigurasi konvensional alias mesinnya di bagian depan. Soalnya ditribusi beban menjadi lebih merata, sehingga mobil pun bisa melaju stabil. Pada 1959-1960, Cooper mendapat gelar juara dunia lewat pembalap asal Australia, Jack Brabham.

1961-1965 INGGRIS MENDOMINASI ARENA BALAP
Pada 1961, aturan balap kembali berubah. Kapasitas mesin diturunkan dari 2500 cc menjadi 1500 cc saja. Hal ini membuat mobil menjadi lebih kecil, lebih ringan dan lebih lamban. Tim-tim Inggris mulai menguasai arena membabat pembalap Italia. Bersama tim BRM, Graham Hill meraih gelar juara pada 1962. Tahun berikutnya giliran Lotus yang mmegang kendali. Tim Lotus ini ula yang pertama kali mengunakan sasis monocoque mengantikan sasis model lama. Pembalap Lotus, Jim Clark, berhasil menyumbang gelar juara dunia pada 1963 dan 1965. Ferrari sempat mencuri gelar juara dunia pada 1964, namun itupun lewat pembalap Inggris John Surtees.
Juara dunia Jim Clark sedang memacu Lotusnya pada tahun 1963.

1966-1977 EVOLUSI MESIN
Pada masa ini, aturan kapasitas mesin kembali berubah. Dari 1500 cc dinaikan dua kali lipat menjadi 3000 cc. Tentu saja tak semua tim siap menghadapi perubahan tersebut, namun Jack Brabham yang kini memiliki tim sendiri sudah mengantisipasi hal itu. Dengan mesin pasokan dari Repco engine dari Australia, Brabham meraih gelar pada 1966. Tahun berikutnya giliran teman satu timnya, Denny Hulme yang berdiri di podium tertinggi.
Jack Brabham (AUS) melesat bersama Brabham BT19 dan finis keempat di GP Belgia di Spa-Francorchamps. (www.kaskus.us)

Perkembangan balap makin semarak dengan kehadiran mesin DFV terbaru dari Ford. Awalnya, mesin itu cuma dipakai oleh tim Lotus, namun lama kelamaan mesin buatan pabrikan Amerika itu dipakai seluruh tim balap. Jadi, keunggulan tim ditentukan oleh kemampuan para mekanik mereka 'mengilik' mesin dan membuat rancangan mobil.

Pada 1968 Graham Hill keluar sebagai juara dunia. Saat itu aerodinamika mulai jadi perhatian utama. Dan untuk pertama kalinya, mobil balap mengunakan sayap yang berfungsi mengikis hambatan angin. Pada masa itu pula, ban jenis slick (tanpa alur) mulai dikembangkan. Akhirnya, dari dua inovasi tersebut, sayap dan ban, mobil dibuat menjadi lebih ramping hingga sekarang. Keunggulan mesin DFV yang mengantarkan tim Lotus, Tyrell dan McLaren menggondol juara dunia, mendapat perlawanan dari tim Italia, Ferrari. Tim Kuda Jingkrak itu berhasil merebut juara dunia lewat pembalap Niki Lauda pada 1975 dan 1977.
Graham Hill di atas Lotus-Cosworth, di Sirkuit Jarama, Spanyol tahun 1968. (www.f1fanatic.co.uk)

1978-1988 REVOLUSI TEKNIK
Di pengujung era 1970-an, perkembangan teknologi membuat bentuk mobil balap lebih rendah dan hampir menyentuh tanah. Pada 1977- 1978 Lotus memperkenalkan mobil dengan
konsep ground effect. Menurut pencipta konsep tersebut, Colin Chapman, aliran udara di bawah saat mobil melaju dapat membantu fungsi sayap dalam meningkatkan kecepatan.
Anthony Colin Bruce Chapman CBE, adalah pendiri perusahaan pembuat mobil sport Lotus tahun 1952 dan penemu mobil F1 ground-effect.

Bentuk mobil yang lebih rumit kemudian mulai dibuat. Dan saat itu pula mulai dikenal sliding skirt, yaitu plat penutup tambahan antara bodi mobil dengan aspal. Skirt itu berfungsi agar aliran angina di bawah mobil tak 'berhamburan' melainkan melaju langsung ke belakang. Dengan demikian mobil akan menerima daya tekan yang disebut downforce. Dengan adanya downforce, mobil tak akan 'melayang' meski melaju dengan kencang.

Konsep itu terbukti ampuh dan berbuah pada 1978. Ketika itu Mario Andretti memper-sembahkan gelar juara dunia untuk tim Lotus. Dua tahun kemudian, Williams berhasil mengembangkan konsep ground effect dan meraih gelar juara dunia lewat pembalap mereka, Alan Jones. Sebenarnya, pada bulan Juli 1977 Renault memperkenalkan mesin turbo 1500cc. Mesin tersebut ternyata mampu mengimbangi mesin 3000cc konvensional milik DFV. Sayang, sebagian besar tim masih percaya pada kemampuan mesin DFV.
Alan Jones (mobil putih) and Gilles Villeneuve (merah) berduel di Montreal, Kanada.

Barulah, pada 1983, mesin turbo BMW racikan tim Brabham berhasil merebut perhatian dengan mengantarkan Nelson Piquet menjadi juara dunia. Setelah perkembangan mesin turbo langsung menanjak. Beberapa pabrikan mulai membuat mesin turbo, misalnya TAG/Porsche yang b e rgandengan dengan tim McLaren, kemudian Honda yang mengembangkan mesin turbo bersama tim Williams.

Sayang, demi alasan keselamatan, FIA mengeluarkan aturan baru. Dengan maksud untuk mengurangi kecepatan mobil, mesin turbo dilarang digunakan. Pada era itu, muncul pula teknologi baru. McLaren memperkenalkan sasis berbahan carbon composite menggantikan sasis berbahan aluminium.

1990-AN PERKEMBANGAN ELEKTRONIK DAN ERA KOMERSIALISASI
Pada musim balap 1989, kapasitas mesin naik menjadi 3500 cc. Namun lima tahun kemudian kembali diturunkan menjadi 3000cc. Penyebabnya adalah kecelakaan tragis yang menewas-kan Ayrton Senna di sirkuit Imola. Masa 1990-an ini perkembangan teknologi dibalap F1 mengarah pada penggunaan alat-alat elektronik. Sedang pada bagian lainnya seolah hanya melanjutkan teknologi yang sudah ada.
Mobil Williams Ayrton Senna kecelakaan fatal di tikungan Tamburello saat memimpin balapan di GP San Marino di Sirkuit Imola 1 Mei 1994.

Senna telah dinyatakan meninggal dunia sebelum dilarikan ke rumah sakit di Bologna dalam usia 34 tahun. Tengkorak kepalanya pecah karena terkena hantaman roda depan yang lepas dari mobilnya.(www.3.bp.blogspot.com)_XSseaScuBeQ/

Sistem yang semula beroperasi secara mekanis mulai digantikan sistem komputer. Semua bagian mobil dikontrol lewat komputer. Dan pada era ini mulai berkembang konsep drive - bywire. Untuk menggerakkan throttle, tak diperlukan lagi kawat penghubung ke pedal. Peran itu digantikan oleh sistem elektronis, seperti bermain video game.

Di sisi lain peraturan terasa semakin ketat. Tak pelak hal itu membuat setiap tim harus mampu membuat nilai tambah tanpa melanggarnya. Mau tak mau biaya pun semakin tinggi, terutama biaya Riset dan Desain. Biaya yang demikian tinggi itu membuat beberapa tim yang pernah berjaya seperti Lotus dan Brabham harus mengundurkan diri.

Namun demikian, balapan -khususnya Formula1- berkembang menjadi tontonan yang mampu menyedot perhatian seantero jagat. Pada 1997, putaran GP Formula 1 ditonton oleh 6,25 miliar orang di 201 negara melalui 300 saluran televisi. Bila diperbandingkan, jumlah penonton itu hampir setara dengan jumlah penonton Olimpiade dan Piala dunia Sepakbola.

Tapi ingat, kedua event itu diadakan empat tahun sekali. Sedangkan F1 berlangsung setiap tahun, 10 bulan di tiap tahunnya. Berkembangnya balapan Formula 1 ke arah komersialisasi tak lepas dari peran Bernie Ecclestone. Pria asal Inggris yang pernah menjadi pemilik tim Brabham ini mendapat hak dari FIA untuk menjadi promotor balap F1.
Balapan F1 setiap weekend race ditonton secara live di TV oleh hampir satu milyar penduduk dunia (www.intentsgp.com/races/silverstone)

Di tangan Bernie, terlepas dari sifat keras yang cenderung bertangan besi, F1 menjadi sebuah ajang balapan yang tero rganisir dengan sangat rapi dan menjadi tontonan spektakuler. Alhasil di era modern ini, F1 berkembang tak cuma sebagai arena adu kecepatan semata, melainkan menjadi ajang komersial paling glamor. Para sponsor berebut untuk ikut serta. Bahkan, sebuah produk akan disebut sebagai produk kelas tinggi jika bisa berpartisipasi dalam gelaran F1.
Bernie Ecclestone adalah pengusaha dan mantan pembalap dan pemegang hak pengelolaan F1 selama 100 tahun.

Pemikiran Hitler era 1940-an, yang menjadikan balapan sebagai ajang propaganda paling tepat ternyata benar. Hanya, saat ini bentuknya saja yang berbeda.

Bersambung….

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...