Tuesday, June 1, 2010

Pembatasan BBM bersubsidi sepeda motor; prahara baru bagi rakyat kecil

(Foto: http://media.vivanews.com/images/2009/06/19/72498_sepeda_motor.jpg)

Rasa keadilan masyarakat Indonesia dalamlebih dari dari seminggu terakhir kembali terusik oleh rencana pemerintah membatasi pemakaian bahan bakar bersubsidi untuk sepeda motor. Rencana yang dilontarkan sekitar tanggal 25 Mei lalu itu mengusik rasa keadilan masyarakat yang telah terbebani oleh tumpukan problematika hidup, terutama problema yang bersangkutan dengan urusan perut. Sebuah rasa keadilan untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan mendapatkan pelayanan yang semestinya diberikan oleh Negara kepada Rakyatnya. Sebuah rasa keadilan di mana semestinya kepentingan rakyat banyak dilindungi.

Masyarakat – dalam hal ini menengah ke bawah- sulit menerima dengan akal sehat bahwa alat tumpuan mereka yang di dalam faktanya bukan barang mewah untuk mencari nafkah akan menjadi korban kebijakan pemerintah tanpa landasan berpikir yang jernih dan jelas. Bagaimana mungkin sepeda motor yang kapasitas enginenya jauh lebih kecil dari kendaraan roda empat, harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan pemilik mobil? Bagaimana mungkin mereka harus menjadi korban kebijakan pemerintah karena sistem transportasi umum dan infrastruktur jalan yang tidak memadai?

Pemerintah menyanjung-nyanjung dua tujuan penghapusan BBM bersubsidi untuk sepeda motor; 1) Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan 2) demi melestarikan lingkungan hidup. Meningkatkan kesejahteraan rakyat memang telah menjadi kewajiban Negara yang telah dicantumkan dan dicamkan di dalam konstitusi. Dan rakyat berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dari Negara. Melestarikan lingkungan hidup juga merupakan kebijakan yang sah dari pemerintah dan perlu dilaksanakan demi kelangsungan pembangunan negeri ini pada khususnya dan kelangsungan bumi pada umumnya. Tapi yang menjadi pertanyaan jika kedua tujuan itu dicanangkan dengan cara ‘menyeret’ rakyat ke jurang penderitaan yang lebih dalam, lantas untuk siapa kedua tujuan itu dicanangkan?

Di Indonesia pengguna sepeda motor pada umumnya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai moda transportasi di dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Tidak hanya menjadi alat transportasi yang mengantarkan pengguna dari rumah ke kantor, pabrik, tempat sekolah dan tempat-tempat tujuan lainnya, melainkan juga sebagai sarana menunjang kegiatan usaha yang cukup aman, murah, hemat, fleksibel, cepat dan memiliki daya tempuh jarak yang cukup tinggi. Dalam artian, motor telah menjadi moda transportasi andalan di dalam kegiatan berusaha.
(http://www.koran-jakarta.com/gambarberita/2009/arvinozulkaGambarBeritaKoranJakarta)

Sepeda motor dipakai oleh berbagai kalangan profesi masyarakat menengah dan bawah. Ia dipakai oleh pekerja kantoran, satpam, karyawan pusat perbelanjaan, office boy, pegawai negeri sipil, polisi, anggota TNI sampai ajudan jenderal. Dan pada umumnya sepeda motor yang dipakai di Indonesia adalah jenis bebek! Seorang karyawan yang yang pergi ke kantor di daerah Sudirman, Jakarta Pusat dari rumah di Citayam, Depok, Jawa Barat dengan sepeda motor bebek 110cc berbahan bakar Premium yang harganya Rp 4.500 per liter harus mengeluarkan kocek Rp 110ribu per bulan untuk 22 hari kerja, dengan asumsi konsumsi Premiumnya Rp 10ribu untuk dua hari.

Sedangkan jika ia dipaksa memakai bahan bakar Pertamax yang harganya Rp 6.950 per liter, jumlah pengeluaran yang ia keluarkan bertambah tinggi Rp 10ribu Pertamax hanya untuk 1 hari saja, atau mengalami peningkatan menjadi Rp 220 ribu per bulan untuk 22 hari kerja. Berarti pengeluarannya naik 100 persen! Waktu tempuhnya rata-rata 1,5jam. Namun, teori konsumsi bahan bakar ini bisa menjadi kurang atau lebih tergantung dari cara pemakaian dan kondisi lalu-lintas yang dilewati oleh pengendara motor tentunya.

Jika sang karyawan naik angkutan umum, ia mengeluarkan biaya transportasi Rp 14ribu per hari dan harus ditebus dengan waktu tempuh yang lebih gila lagi, 2,5- 3 jam karena harus melewati sejumlah simpul-simpul kemacetan. Jika naik kereta api, sang karyawan harus mengeluarkan kocek Rp 24ribu per hari PP dengan kereta ekspress Pakuan, dengan KA ekonomi AC Rp 17ribu PP per hari dan KA ekonomi biasa Rp 9ribu PP. Kalikan saja dengan 22 hari kerja! (2 http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2010/02/17/3693919p.jpg)

Jika karyawan menggunakan moda transportasi Busway dari Shelter Ragunan menuju Sudirman, mesti mengeluarkan kocek Rp 7.000 per hari dengan waktu tempuh 1 jam! Dengan asumsi sepeda motor dititipkan di Terminal Busway Ragunan, berarti ada juga konsumsi bahan bakar motor yang dihitung dan uang parkir penitipan motor. Tapi waktu tempuh dengan Busway bisa lebih gila lagi pada saat jam pulang kantor, bisa sampai 2 jam sampai Ragunan karena jalur Busway dimasuki pula oleh kendaraan pribadi (waktu tempuh ini sudah termasuk menunggu Busway di shelter Sudirman dan Terminal Dukuh Atas).

Bagi kalangan kelas menengah yang memakai sepeda motor, kenaikan biaya transportasi sebesar 100 persen mungkin tidak terlalu memberatkan, namun lain halnya bagi masyarakat kecil pemakai sepeda motor. Mereka harus mengeluarkan kocek tambahan 100 persen untuk biaya transportasi padahal mereka juga dibelit oleh harga barang yang membumbung tinggi. Dapat dipastikan kenaikan cost juga akan menyebabkan kenaikan harga barang, imbasnya malah menular kemana-mana. Padahal tanpa pemberlakuan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi pun, kalangan pemakai sepeda motor sudah memiliki mekanisme tersendiri dalam mengkonsumsi BBM Premium dan Pertamax.

Masyarakat sendiri menyadari bahwa harga energi akan terus meningkat dan akan sulit turun karena mau tidak mau hukum supply and demand berlaku. Apalagi cadangan sumber daya energi dari hari ke hari terus menipis, sehingga muncul ide-ide tentang energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tapi apakah membatasi pemakaian BBM bersubsidi (Premium) untuk sepeda motor yang notabene bukan barang mewah sekarang ini tepat? (http://aziz.blogdetik.com/files/2008/08/macet.jpg)

Tindakan pemerintah membatasi pemakaian BBM bersubsidi kepada sepeda motor menurut saya adalah tindakan kekanak-kanakkan. Pemerintah hanya mencari solusi gampangnya saja untuk menyelesaikan permasalahan bahan bakar di negeri ini dengan alasan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jika pemerintah membatasi pemakaian BBM bersubsidi kepada sepeda motor yang notabene dipakai oleh masyarakat kecil, lantas kesejahteraan rakyat mana yang mau ditingkatkan dan dibela? Padahal, masyarakat kecil akhir-akhir ini sudah terbebani problema kebutuhan hidup dengan segala kenaikan harga barang kebutuhan. Padahal pemerintah juga tahu bahwa peningkatan pendapatan rakyatnya tidak sebanding lurus dengan membumbungnya harga kebutuhan. Lantas kepentingan siapa yang dibela?

Lantas apakah karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan moda transportasi umum yang cepat, murah, nyaman dan aman dan ketidakmampuan pemerintah membenahi infrastruktur jalanan, rakyat kecil kembali harus menjadi korban? Bagaimana masyarakat bisa mendapatkan rasa keadilan jika hak hidupnya sebagai warga negara tidak sebanding lurus dengan pelayanan yang diberikan oleh Negara [pemerintah]? Jika untuk membayar selembar Akta Kelahiran anaknya yang menurut pemerintah hanya ditebus dengan uang Rp 50.000 ternyata harus membayar hampir Rp 400.000? Atau jika ternyata tetangganya yang PNS rendahan di sebuah departemen, ternyata gonta-ganti mobil padahal pendapatannya lebih baik sang tetangga? Bahkan untuk membuat KTP pun mereka harus mengeluarkan kocek lebih tinggi dari harga normal atau mereka merasakan langsung carut marutnya birokrasi yang harus ditebus dengan energi fisik dan finansial yang tidak efektif oleh warganya? (http://ayahaan.files.wordpress.com/2009/09/macet-vivanews.jpg)

Justru pemerintah sekarang ini tidak perlu lagi menghimpit tubuh rakyat kecil yang sudah gepeng dengan segala beban hidup. Pemerintah malah seharusnya mengurangi beban hidup, misalnya dengan menyediakan kebutuhan pokok dengan harga yang sangat terjangkau alias murah. Sudah menjadi tugas Negara (pemerintah) untuk melindungi kepentingan rakyatnya untuk hidup di negeri ini.

Sebaiknya energi pemerintah jangan dialihkan mengurusi pembatasan pemakaian BBM bersubsidi untuk sepeda motor. Lebih baik tangani dulu dengan baik pembatasan pemakaian BBM bersubsidi (premium) di kalangan pemilik kendaraan roda empat, membenahi infrastruktur jalan, menyediakan transportasi umum yang nyaman, murah dan aman dan efiensi alokasi pendapatan negara jangan sampai bocor ke mana-mana. Lebih baik pemerintah juga mengefisiensi alokasi dana dari hasil penghapusan-penghapusan subsidi BBM sebelumnya yang katanya dialokasikan ke bidang kesehatan, pendidikan dan lain-lain.Toh sudah menjadi rahasia umum bukan pelaksanaan alokasi dana ternyata tidak berjalan efektif.

Kalau pun pemerintah tetap ngotot ingin memberlakukan pembatasan pemakaian bahan bakar bersubsidi kepada sepeda motor, rakyat kecil yang hidupnya sudah terhimpit akan semakin menderita. Mekanisme seperti apa yang bakal dibuat oleh pemerintah? Toh, harga BBM tidak bersubsidi (Pertamax) selama ini fluktuatif dan terus meningkat –dan apakah pemerintah akan menggunakan mekanisme patok harga seperti BBM bersubsidi seperti sekarang? Toh penghapusan pemakaian BBM bersubsidi untuk mobil pun tidak berjalan efektif, banyak kendaraan pribadi bertahun muda yang masih memakai premium. Toh, infrastruktur jalan juga berantakan, bukan rahasia umum lagi jalan-jalan di ibukota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia berlubang dan tak jelas markanya. Alih-alih bukan kesejahteraan yang diperoleh, malah akan menuai penderitaan dan pemberontakan.

Saya sendiri merasa yakin bahwa jika pemerintah bisa menyediakan transportasi umum yang aman, nyaman dan murah masyarakat dan masyarakat mendapatkan keadilan dalam mendapatkan pelayanan dari Negara dan mendapatkan peningkatan taraf hidup (tidak seperti sekarang), masyarakat akan dengan sendirinya tunduk dengan keputusan pemerintah. (Eka Zulkarnain, wartawan)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...