Wednesday, January 26, 2011

Saya ingin ke Formula 1

Pertama kali berlatih di GP3 Series, ia dipandang sebelah mata. Rio bukan siapa-siapa, tidak memiliki prestasi menonjol di mata calon-calon rivalnya yang sudah lama di Eropa. Tapi dalam waktu singkat malah membuat mata paddock terbelalak.


(Rio Haryanto ketika menyambangi garasi Virgin Racing Team di Grand Prix Singapura 2010)


Saya pertama kali bertemu Rio Haryanto di sirkuit gokart Sentul sekitar tahun 2006 silam. Ia biasa saja dan cenderung pendiam. Namanya belum dikenal orang, ditelan oleh nama besar Moreno Soeprapto, Ananda Mikola, Zahir Ali (gokart) dan Eris Mahfud (gokart).

Pertemuan kedua saya dengannya pada Juni 2008 pada gelaran Asian Festival of Speed (AFOS) di Sirkuit Sepang. Di situ terdapat dua pembalap Indonesia, Robin Tato yang mengikuti Formula Renault V6 Asia dan Rio Haryanto di Formula Asia 2.0. Ketika menyambangi garasi Rio, yang berada di bawah tenda di belakang hospitality karena FAsia 2.0 adalah supporting race, ia sedang berdiskusi dengan engineer tim. Keduanya serius. Sehabis itu, kami terlibat pembicaraan intens mengenai kiprah balapannya, ikut pula sang ayah Sinyo Haryanto dan ibunya.

Saat itu tak ada yang istimewa dari Rio. Ia seperti pembalap lainnya yang ingin meniti karier jauh setinggi langit. “Cita-cita saya dan seperti pembalap lainnya adalah ke puncak balapan, Formula 1,” ujarnya. Angan-angan yang tinggi, tapi tidak mustahil untuk digapai meski umurnya saat itu baru 14 tahun. Rio bicara soal mobil, tentang latihan, kualifikasi dan race yang akan ia hadapi. Bagi saya, ia tidak seperti pembalap muda yang baru 14 tahun. Analisanya tentang sesi latihan dan kualifikasi sangat menarik. Anda tak akan menyangka sedang berhadapan dengan anak usia 14 tahun yang sudah tahu banyak tentang mobil pacuannya.

Saya pun meninggalkan garasi Rio menuju press room. Sambil menikmati orange juice untuk mengalahkan panasnya Sepang, saya menonton Formula Asia 2.0 di layar TV. Terlihat mobil kuning merah pacuan Rio menyalip dua mobil sekaligus di pertengahan lap padahal ruang yang ada sangat sempit. Tindakan berani. Mungkin ini sebuah pertanda. Sekembali ke Jakarta, saya dikirimi DVD rekaman Rio balapan di Cina. Di rekaman itu tindakan Rio malah lebih berani lagi.

Akhirnya Rio meniti karier ke Formula BMW Pasifik di mana ia menjadi juara musim 2009 dan kemudian ke GP3 Series di mana Rio berada di urutan kelima klasemen 2010. Ketika mewawancarai Rio di kawasan Kelapa Gading, di kepala saya sudah ada pertanyaan pertama yang ingin saya lontarkan sebagai pembuka –meski itu agak ganjil mungkin. Pertanyaan yang bikin saya penasaran.

(Rio membesut mobil GP3 Tim Manor di Turki)

Saat race pertama di putaran terakhir GP3 Series di Monza, tindakan Anda di chicane Variante della Roggia sangat berani…
Saat itu di pertengahan balap saya berhasil menempel dua pembalap terdepan (Nico Muller dan Robert Wickens). Saya tempel mereka terus dan saya merasa mobil saya lebih kencang dari mobil mereka berdua. Makanya waktu masuk di Curva Grande saya pacu habis sampai akhirnya kami bertiga bersisian pada waktu mau masuk della Roggia. Saya tahu saya akan masuk chicane, dan posisi saya lebih menguntungkan karena berada di luar. Namun waktu masuk chicane, saya menyadari mobil tak akan bisa menikung ke kiri karena dua mobil rival ada di samping kiri, kalau saya menikung, habis sudah balapan saya karena bisa bertabrakan. Saya akhirnya bablas memotong chicane dan berhasil memimpin.

Anda kena penalti dari steward?
Tidak, hanya kena teguran. Mereka tahu saya tak mungkin menikung karena kami bertiga sedang berduel memperebutkan posisi pertama, kalau saya belokkan mobil akan terjadi tabrakan dan akibatnya akan lebih parah. Dan saya juga mengambil posisi secara bersih. Sejak trek lurus di depan pitlane saya sudah menempel mereka sampai ke della Roggia.

Lantas Anda sempat memimpin lima lap, kenapa merosot lagi?
Betul. Saya mengalami masalah pada pengereman sehingga setiap masuk tikungan saya harus mengerem lebih awal dari seharusnya takut mobil overshoot dan malah membuat balapan saya berantakan. Meski mengalami masalah pengereman, mobil saya pun tidak terkejar oleh mobil urutan keempat, berarti mobil saya memang kencang. Kalau saja saya tidak bisa mendapat masalah itu, saya yakin bisa menjadi juara.

Berarti sukses atas podium kamu di Monza…
Terima kasih.

Anda mendapat kesempatan menjajal mobil F1 Virgin Team, tentunya menjadi kebahagian tersendiri?
Senang sekali. Memang dari kecil cita-citanya ingin jadi pembalap F1. Dari pertama kali membalap gokart umur 6 tahun, saya ingin sekali menjajal mobil F1. Akhirnya tidak lama dari sekarang, saya akan mendapatkan hadiah itu. Cukup lama juga saya meraih prestasi ini dari mulai gokart, Formula BMW, Formula Renault dan akhirnya GP3 Series. Jadi saya sangat senang sekali dan mudah-mudahan nanti hasil tesnya bagus.


Setelah nanti menjajal Virgin dan Anda mendapatkan lap time yang bagus, apakah ada hadiah lagi dari tim?
Sebenarnya hanya tes semata untuk menambah jam terbang dan pengalaman sebagai rookie driver F1. Soalnya untuk mendapatkan super license kita harus menang di GP2 atau top-3 atau top-3 di World Series Renault. Atau kita harus pengalaman naik mobil F1 sekitar 500km. Dan sekarang ini untuk tes F1, sangat terbatas sekali tidak seperti dulu-dulu.

Kapan menjajal mobil F1 itu nanti?
Tanggal 16 November di Sirkuit Yaz Marina, Abu Dhabi. Diselenggarakan dua hari setelah GP F1 Abu Dhabi. Rencananya antara 30 – 40 lap dengan memakai Sirkuit Yaz secara penuh sama dengan yang dipakai balapan F1 dan setingan mobilnya pun full setingan mobil F1. Tak ada yang dibatasi.

Anda juara di Turki, bisa diceritakan?
Pengetahuan para pembalap GP3 Series di sini merata karena belum ada yang pernah turun di sini, termasuk saya. Saya sudah menjadi yang tercepat sejak sesi latihan. Semua orang paddock kaget saya fastest, tapi di kualifikasi saya mengalami masalah sehingga start dari P16. Tapi berhasil finis ke-8. Nah waktu race kedua start dibalik, saya pole dan mobil saya saat itu sempurna. Lain waktu di Catalunya, Spanyol. Sejumlah pembalap GP3 sudah ada yang pernah merasakan trek tersebut dan mungkin itu yang membuat saya kurang bagus. Dan lagi itu balapan pertama saya di GP3.


Apa yang terlintas di pikiran Anda saat menyambut chequered flag kemenangan di Istanbul?
Seperti a dream come true. Pikiran saya campur aduk. Saya senang sekali, bisa balapan barengan dengan highest motorsport dan bisa menang di depan publik F1 itu sendiri. Kenangan yang tidak akan saya lupakan.



Anda juga podium finis kedua di Silverstone, sebuah sirkuit klasik…
Ya. Di sini juga saya sangat kaget bisa podium. Meski mobil sempurna saat itu, tapi kan sudah banyak pembalap GP3 dari Eropa yang balapan di sini. Saya pernah turun di sini sekali, di F3 Inggris. Di sini saya juga membuat kalangan paddock terkaget-kaget. Inilah balapan favorit dan terbaik saya. Saya juga mematahkan pendapat paddock bahwa kemenangan saya di Turki karena faktor luck. Sebetulnya waktu kualifikasi dari awal sampai menit terakhir saya tercepat, tapi di satu menit terakhir, Esteban Gutierrez yang menyabet pole. Dan waktu race sejak start sampai finis saya terus menempel Gutierrez.

Bagaimana rasanya menjadi pembalap Indonesia pertama yang perform bagus di GP3 dan menjajal F1?
Pastinya lebih banyak atensi dari media baik di Indonesia, Asia dan Eropa dan juga atensi dari para pembalap dan orang-orang di bidang motorsport. Paling tidak nama saya dikenal oleh mereka.

Apa resepnya bisa improve setinggi itu dalam waktu singkat?
Menurut saya karena faktor mental. Kalau saya mentalnya bagus dan percaya diri, pasti bisa. Saya yakin semua orang bisa berprestasi. Tapi di belakang itu memang harus ada experience untuk mendukungnya.

Waktu GP Singapura kemarin Anda ke garasi Virgin Racing, melakukan apa saja di sana?
Saya datang atas undangan dari tim Virgin dan untuk memperkenalkan diri karena saya mendapatkan hadiah kehormatan dari tim itu. Di situ saya mendapatkan saran dari para anggota tim agar mempersiapkan diri lebih intensif lagi karena G-force di mobil F1 sangat tinggi. Mereka menyarankan saya memperkuat fisik, terutama otot leher, perut, lengan dan kaki karena remnya memang lumayan keras dibandingkan GP3. Saya melihat bagaimana kerja sebuah tim F1 sepanjang race weekend, strategi, kesiapan tim. Saya mendapat penjelasan mengenai setir F1 yang banyak tombolnya. Mereka menjelaskan satu per satu karena nantinya setir itulah yang akan saya pakai. Saya di garasi Virgin dari hari Jumat dan melihat bagaimana rumitnya mobil F1.
Dari kunjungan garasi itu, saya melihat kerjasama antara pembalap dengan tim, misalnya pembalap dilibatkan dalam diskusi yang intensif mengenai sesi latihan Jumat. Di GP3 Series juga begitu, tapi tidak seketat F1 karena ini puncaknya motorsport. Banyak yang dibicarakan disitu dari mulai setingan mobil, ban, trek, strategi dan lain-lain. Di situ saya melihat, 1 mobil dikerjakan oleh sekitar 15 orang, benar-benar rumit. Tapi saya menyukai pengalaman tersebut.
Saya juga mendapatkan headset dari tim Virgin, headset milik Timo Glock untuk mendengarkan komunikasi antara pembalap dengan tim yang ada di pitwall dan garasi. Pada setiap putaran, engineernya berbicara dengan Timo seperti diminta untuk mengubah setingan dan lain-lain.

Di garasi juga Anda bertemu dengan John Booth (team principal Virgin Racing dan bos Manor Racing)?
John Booth adalah bos dari tim Manor dari mulai Formula Renault di Inggris, F3, GP3 dan sekarang menjadi mitra Richard Branson di Virgin Racing. John menyarankan kepada saya untuk terus latihan fisik dan memperkuat fisik saya agar prima. Dia bilang kalau saya bisa improve terus di GP3 dan balapan-balapan selanjutnya, mungkin masa depannya akan bagus. Dan tim Manor, terutama John, cukup kaget dengan hasil tim tahun ini terutama saya.
Pada awal musim, dia bilang kepada saya, “Rio kamu harus kerja keras dan mungkin lebih keras dari pembalap-pembalap lain di GP3.” Akhirnya saya perform dan dia sempat kaget juga.

(Rio bersama John Booth, pemilik tim Manor Racing, mitra kerjasama Richard Branson di Formula 1)

Anda melihat, apakah dia meremehkan Anda?
Saya tidak tahu itu. Tapi di awal musim dia bilang bahwa saya butuh waktu dua sampai tiga tahun untuk perform dan mungkin di posisi yang sekarang saya capai.

Lantas bagaimana pertemuan dengan Richard Branson?
Dia memberikan ucapan selamat kepada saya dan dia lebih kaget lagi kalau saya baru umur 17 tahun. Menurut dia, usia saya sangat muda sekali. Dia kira, umur saya 20-an.

(Rio Haryanto bersama bos Virgin Racing Team Sir Richard Branson -baju putih)

Katanya Anda juga sempat membetulkan ponsel Branson yang tidak mau menyala?
Iya. Saya diminta untuk membetulkan Blackberry dia karena BB servicenya belum bisa jalan. Saya membetulkan dan akhirnya bisa jalan. Dia senang.

Hadiah dari Virgin Racing inikan sudah diumumkan sejak awal musim, apakah itu memotivasi Anda menjadi yang terbaik di Manor?
Sebetulnya pada awal tahun itu kami punya tiga pilihan tim; Status Grand Prix, ART Grand Prix dan Manor. Akhirnya kita memilih Manor karena cara kerjanya yang lebih kekeluargaan, tapi tetap mengagungkan disiplin tinggi. Tim ini sangat friendly, normal sekali dan tidak sok. Manager saya Piers Hunniset menyarankan saya untuk membalap di Manor karena saya masih perlu orang untuk menangani saya untuk improve. Sedangkan tim-tim lain seperti ART lebih ke winning driver. Mereka maunya pembalap yang bergabung yang punya potensi juara.

Bagaimana hari-hari pertama Anda bersama Manor?
Waktu pertama kali tes di Manor, saya mengalami kesulitan. Dengan dua team-mate saya saja saya ketinggalan lebih dari dua detik per lap. Pada hari pertama tes, saya dilarang keluar dari mobil selama enam jam dengan helm dan overall masih terpasang. Bisa dibayangkan panasnya bagaimana. Jadi, tiga jam pagi hari dari jam 9.00 sampai 12.00 dan siangnya dari jam 13.00 sampai jam 16.00. Padahal rekan satu tim saya diperbolehkan keluar dari mobil jika sesi tes sudah selesai. Saya keluar dari mobil hanyas 30 menit saja untuk makan, setelah itu masuk lagi. Katanya biar saya terbiasa.
Tapi dari situ hasil tes saya semakin improve, bisa memperbaiki 0,3 detik per lap sampai akhirnya mendekati dan mengalahkan team-mate saya di Turki. Pada balapan di Catalunya pun hasil saya tidak bagus karena ada beberapa problem, tapi sirkuit itu sudah dikenal oleh beberapa pembalap GP3 Series. Tapi itulah debut saya di GP3 Series.

Saya lihat di youtube, komentator balap bilang Anda kesulitan berbahasa Inggris?
Hahahaha…sebetulnya bukan kesulitan berbahasa Inggris. Saya kesulitan untuk mencerna aksennya. Karena kan markas Manor Racing di Sheffield Selatan dan aksennya berbeda dengan Inggris di London misalnya. Jadi saya kesulitan di awal-awal. Sedangkan saya kan bahasa Inggris Singapura, karena saya sekolah di Singapura.

Anda sekarang makin kesohor, bagaimana kesannya?
[Tertawa lepas] Jadwal saya semakin padat. Seperti hari ini saya harus menghadiri sejumlah acara. Tapi itu konsekuensi. Dan yang terpenting membuat saya punya pengalaman lebih lagi.

Berbicara dan bertemu Rio mengingatkan saya pada figur Kimi Raikkonen. Mungkin bagi Anda padanan ini terlalu jauh, tapi bagi saya masuk akal. Dari beberapa kali pertemuan dengan Kimi, saya melihat ada kemiripan. Pendiam, bicara pelan dan seperlunya, apa adanya dan kalau bicara, intonasinya datar seperti orang kumur-kumur. Bedanya, Rio lebih murah senyum.

Rio Haryanto adalah sebuah harapan dan momentum. Harapan agar Indonesia bisa mengulang era Ananda Mikola, Zahir Ali, Moreno atau jauh sebelum itu dan bahkan lebih baik dari itu. Perjuangan di lintasan motorsport memang maha berat, tapi Rio sudah membuktikan. Jika momentum itu tidak dimanfaatkan sekarang ini, kapan lagi negara ini akan memiliki pembalap yang berpeluang besar.
(Eka Zulkarnain, wartawan F1 Racing) - tulisan ini dimuat di F1 Racing edisi November 2010.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...