Sekitar enam tahun lalu saya mendapat tugas meliput ke daerah atas undangan sebuah grup perusahaan ternama di daerah tersebut. Acaranya adalah kegiatan CSR perusahaan dan mengundang sejumlah wartawan dari Jakarta.
Kami bertolak dari kantor perusahaan tersebut ke lokasi CSR dengan memakai satu bus besar dan kami bercampur dengan karyawan dan petinggi perusahaan. Setibanya di lokasi, saya langsung terjun; memotret sana sini dan berbicara dengan penduduk yang menjadi sasaran CSR serta ngobrol dengan sejumlah petinggi perusahaan.
Setelah acara selesai, rombongan akan kembali lagi ke kantor perusahaan yang lokasinya lumayan jauh, sekitar 8km. Tapi bagi kami wartawan, bukan berarti setelah acara selesai, kami juga langsung cabut. Kemas-kemas peralatan dan langsung naik bus. Masih ada beberapa momen yang perlu diabadikan, dan beberapa sumber yang menurut saya perlu saya kejar. Begitupun sejumlah rekan-rekan, masih ada yang asyik ngobrol dengan beberapa narasumber.
Tapi baru saja saya berbicara dua patah kata dengan narasumber yang saya anggap penting –daripada narasumber yang berbicara diplomatis di acara seremonial- seseorang mencolek saya. “Mas, maaf sebaiknya kita kembali lagi ke kantor, kita ditunggu oleh bapak-bapak yang lain di dalam bus,” ujar seorang perempuan yang mencolek saya. Saya mengiyakan, tapi saya bilang tunggu dulu saya masih harus menggali informasi yang saya butuhkan dan menurut saya penting.
“Waduh mas, kayaknya ngak bisa. Kita harus duluan ke kantor. Mas, di bis itu ada anggota DPRD, lebih baik bis itu diduluin,” jawabnya dengan wajah menyimpan rasa khawatir. Shit! Apa urusannya saya dengan anggota DPR? Daripada saya mengemis-ngemis waktu kepada orang yang meminta saya agar naik bus, saya ikuti permintaannya. Kebetulan tas saya pun ada di dalam bus itu. Waktu di dalam bus, saya bertanya kepada perempuan itu, kok ada anggota DPRD mbak sebis dengan kita? “Iya mas, anggota DPRD itu juga salah seorang petinggi di perusahaan ini,” pungkasnya. Ow, saya tak mau berkata apa-apa lagi dan saya pikir perempuan yang ada disamping saya ini tak akan mau menjawab pertanyaan-pertanyaan dari saya, yang mungkin seperti senapan AK. Ternyata di dalam bus itu, bukan saya saja yang ngedumel, wartawan lain pun jengkel!
Setibanya di kantor perusahaan, saya meneguk air menghilangkan panas menyengat. Daerah ini memang terkenal panasnya. Setelah itu, saya berjalan menghampiri seorang perempuan cantik berpakaian modis, karyawan perusahaan yang mengundang saya dan menghandle urusan media.
Saya langsung komplain atas perlakuan perusahaan tersebut lewat karyawannya terhadap saya yang sedang menjalankan tugas jurnalistik di lapangan. Buat apa dia mengundang media jika media hanya dijadikan pajangan dan tidak boleh menggali informasi? Lantas apa urusannya media dengan anggota DPRD tersebut? Ia meminta maaf dan menyatakan bahwa pihaknya tidak memiliki pengalaman di dalam menghandle media. Shit! Perusahaan sebesar itu tidak bisa menghandle media? Kalo mereka tidak bisa menghandle media, bukankah banyak PR consultant yang bisa mengambil alih pekerjaan itu?
Ah, saya enggak mau lama-lama ngobrol dengan dia. Saya merasa lebih asyik mojok di ruangan dengan kedua telinga ditutup earphone mendengarkan ‘Another Day in Paradise’ Phil Collins.
No comments:
Post a Comment