(Foto: anonymz.tehobenk.com)
Menyeruaknya kasus video porno ‘mirip’ Ariel Peterpan dengan Luna Maya dan Ariel Peterpan dengan Cut Tari pada akhir Mei lalu menyita perhatian publik negeri ini, bahkan sejumlah media massa internasional pun ikut memberitakan, di antaranya memasangnya di halaman depan. Sampai sekarang pemberitaan video porno yang dicurigai oleh masyarakat ‘dibintangi’ Ariel dengan dua perempuan lawan mainnya itu masih terus menjadi perhatian dan cenderung sudah menjadi bola liar yang sulit dihentikan.
Padahal sebelum video mirip Ariel – Luna Maya – Cut Tari [yang kemudian saya sebut Arielgate] muncul, sudah banyak berseliweran video-video porno domestik di sejumlah situs di tanah air. Bahkan yang lebih gila lagi, para aktor dan aktrisnya belum berusia dewasa, beberapa di antaranya ada yang masih memakai seragam sekolah SMP dan percintaan (untuk menghindari kalimat persetubuhan) mereka umumnya direkam dengan kamera handphone. Beberapa kasus video mesum itu pun menjadi bahan pemberitaan media cetak maupun elektronik.
Lantas kenapa kasus mirip Ariel yang notabene para pelakunya sudah dewasa menggoyang jagat hiburan dan bahkan politik negeri ini? Sampai-sampai Presiden pun turut mengomentari dan seorang menteri kepeleset lidah menyamakan Arielgate dengan isu yang sebetulnya tidak ada relevansinya sama sekali.
Saya sebagai wartawan banyak ditanyai oleh rekan-rekan, teman-teman mahasiswa jurnalistik dan masyarakat yang melihat kerja wartawan dalam memburu berita tentang Ariel. Beberapa di antaranya adalah simpatisan ketiga selebritis itu yang menyalahkan media massa terlalu membesar-besarkan pemberitaan yang menurut mereka media massa telah mendeskripsikan ketiga selebritis seolah-olah sebagai orang jahat yang tidak ada baiknya sama sekali.
Masyarakat yang sudah menonton video tersebut mengidentikkan para pelaku video porno mirip artis itu adalah Ariel Peterpan, Luna Maya dan Cut Tari. Ketiganya adalah nama besar di jagat hiburan Indonesia yang berkat teknologi informasi diciptakan sedemikian rupa menjadi public figure. Wajah mereka muncul hampir setiap hari di layar kaca TV dan kertas-kertas majalah, tabloid dan Koran. Berkat kiprahnya sebagai vokalis band besar, Peterpan, masyarakat menganggap Ariel sebagai figur penyanyi pujaan yang cool, ganteng dan keren. Tidak banyak omong tapi karyanya dahsyat sampai ke mancanegara. Begitu juga dengan Luna Maya yang hampir setiap hari wajahnya muncul di sebuah program TV favorit anak muda dan menghiasi baliho-baliho di kota-kota besar Indonesia merepresentasikan produk bergengsi yang diidentikkan dengan citra besar dan kuat. Sedangkan Cut Tari adalah bintang kenamaan yang sering berseliweran di sinetron-sinetron layar kaca dan acara-acara lainnya. Bagi sebagian masyarakat ketiganya adalah role model yang harus diikuti jejaknya dalam kehidupan mereka.
Nah, bagi wartawan mereka adalah sumber berita empuk untuk dijadikan bahan berita karena berkolerasi dengan pembaca. Seluruh selebritis papan atas adalah bahan berita yang harus digali karena layak untuk dijual. Setiap perilaku mereka akan mendapatkan perhatian dari media untuk diberitakan kepada pembacanya. Apalagi dalam dunia pers yang sudah menjadi sebuah industri dan kehidupan pers di negeri ini dilindungi hukum dan undang-undang karena pers dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi.
Sudah menjadi tugas wartawan untuk memburu berita sampai ke liang lahat sekalipun. Instingnya sudah terbangun demikian, salah satu tugas pers adalah ‘menyingkap berita’. Seorang wartawan akan memasang mata dan telinga untuk menemukan berita dengan didukung kejelian dan kreatifitas berpikir maupun bertindak. Jika ia melihat sebuah gedung dengan kemiringan berbahaya, untuk tahu bahwa itu layak menjadi berita, ia tidak perlu menunggu sampai gedung itu runtuh berantakan dan memakan korban.
Saya melihat tidak ada yang salah dalam pemberitaan tentang Arielgate oleh media massa di negeri ini. Jika Ariel, Luna dan Cuta Tari diuber-uber oleh media sampai akhirnya mereka dikerubungi oleh wartawan seperti bangkai sehingga kesulitan untuk lewat, menurut saya masih dalam batasan yang wajar. Kondisi pemberitaan ‘luar biasa’ seperti itu tidak hanya menimpa Arielgate, tapi juga kasus-kasus lain yang non-hiburan. Dan tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di mana-mana, khususnya di negara yang percaya pada kebebasan berpikir dan berpendapat sebagai pilar demokrasi.
Banyak pihak yang menilai bahwa kasus ini adalah kasus privasi yang semestinya media dan publik tidak ikut terlibat terlalu dalam. Dalam beberapa hal saya sependapat, namun saya menilai Ariel –Luna –Cut Tari tetap selebritis yang populer di masyarakat dan media melihat Arielgate adalah sumber berita yang menarik.
Pengertian tentang rahasia pribadi atau privasi atau urusan pribadi adalah elastis sekali. Dulu, jumlah kekayaan pejabat publik dianggap sebagai privasi dan sebagai konsekuensinya tidak ada pengumuman terbuka. Dulu, keluarga kerajaan adalah orang-orang sakral yang tidak boleh disentuh oleh media, sekarang malah menjadi konsumsi publik. Dulu, penyakit menular seperti Malaria pernah dianggap sebagai persoalan pribadi, sekarang malah justru diteliti untuk kebajikan masyarakat luas.
Kadang-kadang pengertian dan batas-batas privasi menjadi tidak jelas. Apakah privasi itu baik atau buruk, tergantung pada batas-batas yang ada. Untuk kasus Arielgate, saya menilai mereka adalah selebritis dan menjadi pusat perhatian publik. Setiap gerak dan langkah selebritis akan terus diikuti oleh masyarakat, khususnya media massa, sehingga terkadang selebritis merasa tidak memiliki ruang privasi lagi. Ada sebuah ungkapan mengatakan, ‘kalau tidak mau bersinggungan dengan media, jangan jadi public figure!”
Hikmah yang perlu diambil dari Arielgate ini adalah hendaknya setiap selebritis dan publik figure membekali diri mereka dengan pemahaman tentang dunia jurnalistik dan kerja media. Di sini peran manager artis, agen atau publicist mungkin akan sangat bermanfaat dalam memberikan masukan kepada artis atau public figure bagaimana menyikapi media massa sehingga nantinya tidak memunculkan kesan bahwa media massa arogan, mau menang sendiri dan menghakimi. Karena justru jika selebritis dan public figure tidak mempersiapkan diri membekali diri mereka, akan menjadi kontra produktif terhadap kariernya pada saat bintangnya sedang menanjak.
Wartawan memiliki filter sendiri mana berita-berita yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik dan jika public figure memiliki pemahaman yang baik tentang dunia jurnalistik dan kerja media, tak perlu ada benturan. Dan semoga masyarakat pun semakin lebih mengenal dunia jurnalistik dan kerja media.
(Eka Zulkarnain, wartawan)
No comments:
Post a Comment