Pada bulan Ramadhan ini, tak ada yang aku bisa sumbangkan buat Tuhan. Puasaku bolong-bolong, Sholatnya apalagi, gompal semua, Tarawihku bergelombang dan Zakatku mandek. Cuma barisan kata-kata seperti ini yang bisa aku sumbangkan. Kali aja barisan kata-kata ini menjadi jembatan Syirotol Mustaqien (nulisnya bener ngak nih??) di akhirat nanti, atau cuma jadi jembatan gantung yang melintasi Desa Cijantung dengan Lenteng Agung di atas sungai Ciliwung. Only God knows.
Kalo melihat sepak terjang segelintir atau sekelompok orang yang sekarang ini sedang ‘sumringah’ karena udara kebebasan, saya jadi miris. Konvoi di jalan pake motor, cuma bersarung, pake baju koko plus sandal capit lalu mengumandangkan kalimat “Allahu Akbar” berulang-kali. Kecepatan motornya juga bisa sampai di atas 60km/j. Tanpa helm dan pakaian yang pantas layaknya orang naek kendaraan bermesin beroda dua. Bahkan satu motor bisa ditunggangi tiga orang.
Terus yang lainnya, naik mobil bak terbuka dengan meneriakkan kalimat yang sama dengan di atas berulang-ulang. Ada yang duduk di kepala mobil, jumlahnya lebih dari tiga orang. ‘Bak’ mobil sarat dengan penumpang berpakaian putih-putih dan jumlahnya melebihi kapasitas. Kadang mobil ‘doyong’ ke kanan maupun ke kiri saat menikung. Yang bermotor maupun yang bermobil sama-sama ‘edan’, serobot kanan dan kiri, membunyikan klakson berulang-ulang agar kendaraan yang ada di depan maupun di sampingnya minggir untuk memberi jalan. Panji-panji bertuliskan huruf Arab (yang saya sendiri tidak tahu makna dan artinya) dikibaskan baik oleh yang naek motor maupun mobil.
Momen seperti itu sering saya lihat di jalan. Saya tidak mau mempermasalahkan sarungnya atau kalimat-kalimat yang mereka kumandangkan. Sarung, pakaian putih atau peci putih maupun hitam dan kalimat penuh makna “Allahu Akbar” bagi saya adalah keindahan. Keindahan tiada tara. Yang tidak indah adalah orangnya dan perilakunya.
Saya tidak pernah melihat secara langsung mereka merusak tempat-tempat hiburan. Saya hanya melihat mereka di layar televisi dan foto-foto mereka koran. Saya tak tega melihat langsung. Bukan tak tega melihat keberingasan mereka. Tapi tak tega melihat karya dan ekonomi orang lain dirusak.
Segelintir orang atau pun kelompok itu kemudian mengkafirkan orang lain. Menuding orang lain sebagai iblis yang pantas diharamkan. Bahkan bukan cuma tudingan, mereka pun melakukan kekerasan. Miris saya dibuatnya. Mungkin bukan karena miris dengan tudingan mereka. Saya tak perduli dituding sebagai Iblis, Kafir kek, tai kek, haram kek, buaya kek, malaikat kek atau Jin sekalian. Saya tak peduli. Saya bukan milik mereka dan mereka bukan milik saya. Miris, kenapa mereka bisa seperti itu? Miris kok ada ya orang -yang katanya lebih mengenal agama dari aku- bisa seperti itu?
Ah, tapi saya kembalikan pada nurani saya. Biarlah mereka lebih mengenal Tuhan…tapi aku lebih mencintai Dia. Aku lebih mencintai Tuhan…bukan sekedar mengenalnya. Saya tak mau mendominasi Syurga atau pun Neraka, karena itu bukan milik saya. Saya tak mau menguasai kebaikan, karena kebaikan ada di mana-mana. Dan saya tak mau memiliki kejahatan karena kejahatan bukan dunia saya. Yang saya punya cuma sebungkus rokok Lucky Strike light, secangkir kopi hitam di samping meja, sebuah handphone Samsung yang sudah kadaluarsa dan sebuah foto nenek saya yang tergeletak di meja. Yang saya punya cuma perenungan, perenungan kok bisa saya ya saya ke kantor salah kostum; bawah coklat atasnya merah, trus pake sepatu kets Puma warna biru?
Dan mungkin segelintir orang dan kelompok itu perlu merenung. Merenung dalam-dalam. Tak perlu merenung bak seorang ahli fisika atau petapa. Hanya merenung sederhana…kenapa ‘saya’ harus memakai peci putih, baju koko putih, sarung dan berteriak ‘Allahu Akbar’. Itu saja.
(Tulisan ini dibuat tahun 2006 dan dimuat di blog saya di friendster)
No comments:
Post a Comment